Selasa, 14 Mei 2019

IMPLEMENTASI PERBUP NO. 21 TAHUN 2016 TENTANG WAJIB BELAJAR MADRASAH DINIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu sektor pembangunan paling penting di Indonesia. Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting terlebih lagi pendidikan mempersiapkan generasi selanjutnya yang lebih maju disamping mempersiapkan peserta didik mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga diharapkan meningkatkan peserta didik dalam segi keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) kepada tuhan Yang Maha Esa, Peningkatan keimanan dan ketaqwaan peserta didik ini untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan atas perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi pada masa sekarang serta masa yang akan datang.
Kabupaten Pasuruan terkenal dengan sebutan “Kota Santri”, karena hamper 94% penduduknya beragama Islam sedangkan yang lainnya non muslim. Penduduk Kabupaten Pasuruan sangat kental menjalankan syariat Islam. Berdasarkan rekap data Departemen Agama Kota/Kabupaten Pasuruan, jumlah pesantren yang berdiri 4.4% dari jumlah pesantren di Jawa Timur.
Seiring perkembangan zaman, sebuatan Kota santri mulai terkikis. Hal
tersebut dikarenakan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja, sehingga membuat gelisah masyarakat Pasuruan. Sebagaimana pernyataan dari Bupati Kabupaten Pasuruan yang kerab disapa Gus Irsyad, bahwa banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di Kabupaten Pasuruan melibatkan pelajar yang sudah sangat memprihatinkan. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pendidikan agama yang diperoleh para siswa, sehingga penanaman nilai-nilai keagamaan harus diutamakan (Radar Bromo, 2016).
Dari fenomena yang ada di Kabupaten Pasuruan, peneliti tertarik untuk meneliti penerapan kebijakan pendidikan Madrasah Diniyah ini di tingkat sekolah MA Darut Taqwa Sengonagung, Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Implementasi PERBUP No. 21 Tahun 2016 Tentang Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Madrasah Diniyah.”
1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa itu program wajib belajar Madarasah Diniyah ?
2.      Bagaimana proses Implementasi kebijakan wajib Madin di MA Darut Taqwa Sengonagung ?



BAB II
KAJIAN TEORI
2.1.  Implementasi Kebijakan
Adiwisastra (2006) mengatakan, bahwa: “Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting. Kebijakan publik yang dibuat hanya akan menjadi ‘macan kertas’ apabila tidak berhasil dilaksanakan”. Selanjutnya, masih menurut Adiwisastra (2006) bahwa: berbeda dengan formulasi kebijakan publik yang mensyaratkan rasionalitas dalam membuat suatu keputusan, keberhasilan implementasi kebijakan publik kadangkala tidak hanya memerlukan rasionalitas, tapi juga kemampuan pelaksana untuk memahami dan merespon harapan-harapan yang berkembang di masyarakat, dimana kebijakan publik tersebut akan dilaksanakan.

2.2.  Model-model Implementasi Kebijakan
Banyak sekali model-model yang dapat digunakan dalam proses perumusan formulasi kebijakan, salah satunya adalah model yang ditawarkan oleh Danial Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang menegaskan bahwa : “Implementasi kebijakan adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan”. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, mengklasiflkasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yakni:
Pertama, variabel independen; mudah tidaknya masalah dikendalikan berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan yang dikehendaki.
Kedua, variabel intervening; kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber daya dan dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan dan lembaga pelaksana, dan perekrutan implementor kebijakan serta keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dan pejabat pelaksana.
Ketiga, variabel dependen; tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu:

i)        pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana,
ii)      kepatuhan obyek,
iii)    hasil nyata,
iv)   penerimaan atas hasil nyata, dan akhirnya mengarah kepada
v)     revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Dan secara ilustrasi model Mazmanian dan Sabatier dapat dilihat pada gambar berikut ini:

 









Proses Implementasi
Keluaran kebijakan

Kesesuaian

Dampak aktual

Dampak yang

Perbaikan
dari organisasi

keluaran

keluaran

diperkirakan

peraturan /
pelaksana

kelompok sasaran

kebijakan



kebijakan




Gambar 3.16 : Model Implementasi Kebijakan
menurut Sabatier dan Mazmanian
Model diatas menyiratkan sebuah pengakuan bahwa meskipun formulasi kebijakan sejak awalnya telah dirumuskan melalui proses bargaining position and power, pertarungan atau konflik kepentingan maupun persuasi, tidak berarti para aktor kebijakan menghentikan intervensinya ketika kebijakan mulai diimplementasikan. Justru para aktor kebijakan tersebut, baik politisi, kelompok penekan, birokrat tingkat atas maupun bawah, dan kelompok sasaran sendiri seringkali lebih intensif memperjuangkan kepentingannya pada tahap implementasi.
Inilah yang dimaksudkan penulis, bahwa kebijakan publik tak lepas dari intrik dan kepentingan politik atau dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dalam dimensi ini harus dilihat dalam perspektif politik. Dalam hal mana, bahwa proses dan tahapan kebijakan publik, baik sejak formulasi, implementasi, dan sampai pada tahapanb evaluasi kebijakan dipastikan bersentuhan dengan berbagai intrik dan kepentingan politik dari para aktor kebijakan publik itu sendiri.




                                           



BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Program Wajib belajar Madrasah Diniyah
Pendidikan Wajib Belajar Madrasah Diniyah wajib diikuti oleh masyarakat Kabupaten Pasuruan, utamanya yang berusia sekolah 7 sampai 18 tahun, untuk menambah pendidikan agama yang kurang diperoleh pada sekolah formal. Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal (Maskur, 2017). Madrasah Diniyah menerapkan jenjang pendidikan yaitu: (1). Diniyah Awaliyah yaitu Madrasah Diniyah tingkat dasar, masa belajar selama empat tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu. (2). Diniyah Wustho yaitu Madrasah Diniyah dalam menyelenggarakan pendidikan Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan pengetahuan diperoleh pada Madrasah Diniyah Awaliyah, masa belajar selam dua tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran. (3). Diniyah Ulya yaitu Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar dua tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu (Departemen Agama RI, 2003).

Kata "Madrasah" dalam bahasa Arab termasuk bentuk kata keterangan tempat (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "Madrasah" diartikan sebagai tempat belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran (Kosim, 2007). Dalam perkembangannya Madrasah Islamiyah berdiri jauh sebelum SD/SMP/SMA/SMK, atau perguruan tinggi. Sebab madrasah adalah salah satu sarana strategis bagi kyai/ustadz dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran Islam (Akhirudin, 2015).


3.2. Implementasi Kebijakan wajib belajar madrasah diniyah di MA Darut Taqwa
     Bicara tentang Implementasi kebijakan pasti terdapat factor pendukug maupun faktor penghambat yang menjadi hal umum dalam sebuah Implementasi kebijakan. Begitupun implementasi kebijakan wajib Madin di MA Darut Taqwa Sengonagung  yang pasti terdapat beberapa factor tersebut.
1.      Faktor Pendukung
a.       Sesuai dengan PERBUP No. 21 tahun 2016 pasal 4 ayat 2 poin b tentang cakupan pengembangan ilmu tentang Qur’an, Hadist, Tauhid, Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab serta Tarikh Islam, maka MA Darut Taqwa sudah sesuai dengan PERBUP tersebut. Karena mata pelajaran tersebut telah diajarkan bahkan sebelum keluar kebijakan tentang wajib madin.
b.      Mayoritas siswa di MA Darut Taqwa adalah berlatar belakang santri. Jadi, untuk mata pelajaran seperti pada pasal 4 ayat 2 poin b itu sudah sangat menguasai.
c.       Mata pelajaran yang berbasis agama juga mereka pelajari di pondok pesantren dengan system yang berbeda, seperti : Taqror, Sorogan, Bandongan, Pasanan, dll.
2.      Faktor penghambat
a.       Mengacu pada PERBUP no. 21 tahun 2016 pasal 10 ayat 3 tentang pembelajaran dan evaluasi, maka Implementasi kebijakan wajib belajar madin di MA Darut Taqwa tidak berjalan sesuai PERBUP. Karena dalam PERBUP kegiatan madin dilaksanakan pada pukul 14.00-16.00. sedangkat KBM di MA Darut Taqwa selesai pukul 13.00.
b.      Kultur pesantren Ngalah yang berbeda dengan desa-desa yang ada diluar pesantren Ngalah.
c.       Madrasah Diniyah di Yayasan Darut Taqwa memiliki lembaga sendiri dengan nama Madarasah Diniyah Darut Taqwa yang melaksanakan KBM mulai pukul 20.00-21.30.
d.      Syahadah Madrasah Diniyah Darut Taqwa tidak ada kaitan dengan Rapot siswa di MA Darut Taqwa. Ini sedikit bertentangan dengan pasal 9 ayat 1 poin D.



BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
            Berdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan diatas MA Darut Taqwa masih belum melaksanakan PERBUP No 21 tahun 2016 tentang kebijakan wajib madin karena terkendala beberapa faktor yang telah dipaparkan diatas.

4.2. Rekomendasi
       1. Pemerintah Kabupaten Pasuruan dalam hal ini Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan harus berkomitmen kuat untuk terus mengawal PERBUP No 21 tahun 2016 agar Kabupaten Pasuruan dapat kembali menjadi Kabupaten yang mendapat sebutan “Kota Santri” dengan kesantunan dan kebaikan akhlak yang dimiliki oleh masyarakatnya.
2. Sinkronisasi beberapa lembaga yang ada Yayasan Darut Taqwa guna suksesi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah kabupaten Pasuruan
      



DAFTAR PUSTAKA
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintahan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Tata Organisasi Dinas Pendidikan Bidang Pergurag Yang Membidangi: Mi, Mts, Ma, Madin, Dan Pondok Pesantren.

Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Wajib Belajar Pendidikan Madrasah Diniyah Dan Takhassus Diniyah.

Kadji,Y. (2015). Formulasi dan Implementasi Kebijakan Publik : Kepemimpinan Dan Perilaku Birokrasi Dalam Fakta Dan Realitas. Gorontalo : UNG press Gorontalo

Izzah, M. (2018). Implementasi Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan
Madrasah Diniyah Dalam Memperkuat Karakter Siswa Sd Di Bangil Pasuruan. Thesis. Universitas Muhammadiyah Malang.




IMPLEMENTASI PERBUP NO. 21 TAHUN 2016 TENTANG WAJIB BELAJAR MADRASAH DINIYAH
(Studi pada MA Darut Taqwa Sengonagung, Purwosari, Pasuruan)

 














NAMA :
Muhammad Khafid Ainul Yaqin
201669080018

Dosen Pengampu :
Hambali, M.Si



PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN  POLITIK
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kha_fidz

dana kelurahan dalam rasionalisme

PENDAHULUAN 1.       Latar Belakang Munculnya otonomi           daerah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemer...