BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pendidikan merupakan
salah satu sektor pembangunan paling penting di Indonesia. Menurut UU No. 20
tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan Negara.
Pendidikan
merupakan masalah yang sangat penting terlebih lagi pendidikan mempersiapkan
generasi selanjutnya yang lebih maju disamping mempersiapkan peserta didik
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga diharapkan
meningkatkan peserta didik dalam segi keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) kepada
tuhan Yang Maha Esa, Peningkatan keimanan dan ketaqwaan peserta didik ini untuk
mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan atas perkembangan Ilmu pengetahuan
dan Teknologi pada masa sekarang serta masa yang akan datang.
Kabupaten
Pasuruan terkenal dengan sebutan “Kota Santri”, karena hamper 94% penduduknya
beragama Islam sedangkan yang lainnya non muslim. Penduduk Kabupaten Pasuruan
sangat kental menjalankan syariat Islam. Berdasarkan rekap data Departemen
Agama Kota/Kabupaten Pasuruan, jumlah pesantren yang berdiri 4.4% dari jumlah
pesantren di Jawa Timur.
Seiring
perkembangan zaman, sebuatan Kota santri mulai terkikis. Hal
tersebut dikarenakan banyak sekali
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja, sehingga membuat
gelisah masyarakat Pasuruan. Sebagaimana pernyataan dari Bupati Kabupaten
Pasuruan yang kerab disapa Gus Irsyad, bahwa banyak sekali kasus-kasus yang
terjadi di Kabupaten Pasuruan melibatkan pelajar yang sudah sangat
memprihatinkan. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pendidikan agama yang
diperoleh para siswa, sehingga penanaman nilai-nilai keagamaan harus diutamakan
(Radar Bromo, 2016).
Dari fenomena yang ada
di Kabupaten Pasuruan, peneliti tertarik untuk meneliti penerapan kebijakan
pendidikan Madrasah Diniyah ini di tingkat sekolah MA Darut Taqwa Sengonagung,
Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Adapun judul dari penelitian ini adalah
“Implementasi PERBUP No. 21 Tahun 2016 Tentang Kebijakan Wajib Belajar
Pendidikan Madrasah Diniyah.”
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa itu program wajib belajar Madarasah
Diniyah ?
2. Bagaimana proses Implementasi kebijakan
wajib Madin di MA Darut Taqwa Sengonagung ?
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1. Implementasi Kebijakan
Adiwisastra (2006) mengatakan, bahwa:
“Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting. Kebijakan publik yang
dibuat hanya akan menjadi ‘macan kertas’ apabila tidak berhasil dilaksanakan”.
Selanjutnya, masih menurut Adiwisastra (2006) bahwa: berbeda dengan formulasi
kebijakan publik yang mensyaratkan rasionalitas dalam membuat suatu keputusan,
keberhasilan implementasi kebijakan publik kadangkala tidak hanya memerlukan
rasionalitas, tapi juga kemampuan pelaksana untuk memahami dan merespon
harapan-harapan yang berkembang di masyarakat, dimana kebijakan publik tersebut
akan dilaksanakan.
2.2. Model-model Implementasi Kebijakan
Banyak sekali
model-model yang dapat digunakan dalam proses perumusan formulasi kebijakan,
salah satunya adalah model yang ditawarkan oleh Danial
Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang menegaskan bahwa : “Implementasi
kebijakan adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan”. Mazmanian dan Paul A.
Sabatier, mengklasiflkasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga
variabel, yakni:
Pertama,
variabel independen; mudah tidaknya
masalah dikendalikan berkenaan dengan indikator masalah teori dan
teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan yang dikehendaki.
Kedua,
variabel intervening; kemampuan
kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan
dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber
daya dan dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan dan
lembaga pelaksana, dan perekrutan implementor kebijakan serta keterbukaan
kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan
teknologi, dukungan publik, sikap dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih
tinggi serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dan pejabat pelaksana.
Ketiga,
variabel dependen; tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan,
yaitu:
i)
pemahaman
dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana,
ii) kepatuhan obyek,
iii) hasil nyata,
iv) penerimaan atas hasil nyata, dan
akhirnya mengarah kepada
v) revisi atas kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Dan secara ilustrasi model Mazmanian dan Sabatier dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Proses
Implementasi
Keluaran kebijakan
|
Kesesuaian
|
Dampak aktual
|
Dampak yang
|
Perbaikan
|
||||
dari organisasi
|
keluaran
|
keluaran
|
diperkirakan
|
peraturan
/
|
||||
pelaksana
|
kelompok
sasaran
|
kebijakan
|
kebijakan
|
|||||
Gambar 3.16 : Model Implementasi Kebijakan
menurut
Sabatier dan Mazmanian
Model
diatas menyiratkan sebuah pengakuan bahwa meskipun formulasi kebijakan sejak
awalnya telah dirumuskan melalui proses bargaining
position and power, pertarungan atau konflik kepentingan maupun persuasi,
tidak berarti para aktor kebijakan menghentikan intervensinya ketika kebijakan
mulai diimplementasikan. Justru para aktor kebijakan tersebut, baik politisi,
kelompok penekan, birokrat tingkat atas maupun bawah, dan kelompok sasaran
sendiri seringkali lebih intensif memperjuangkan kepentingannya pada tahap
implementasi.
Inilah
yang dimaksudkan penulis, bahwa kebijakan publik tak lepas dari intrik dan
kepentingan politik atau dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dalam dimensi
ini harus dilihat dalam perspektif politik. Dalam hal mana, bahwa proses dan
tahapan kebijakan publik, baik sejak formulasi, implementasi, dan sampai pada
tahapanb evaluasi kebijakan dipastikan bersentuhan dengan berbagai intrik dan
kepentingan politik dari para aktor kebijakan publik itu sendiri.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
Program Wajib belajar Madrasah Diniyah
Pendidikan
Wajib Belajar Madrasah Diniyah wajib diikuti oleh masyarakat Kabupaten
Pasuruan, utamanya yang berusia sekolah 7 sampai 18 tahun, untuk menambah
pendidikan agama yang kurang diperoleh pada sekolah formal. Madrasah Diniyah
adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang
diharapkan mampu secara menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak
didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem
klasikal (Maskur, 2017). Madrasah Diniyah menerapkan jenjang pendidikan yaitu:
(1). Diniyah Awaliyah yaitu Madrasah Diniyah tingkat dasar, masa belajar selama
empat tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu. (2). Diniyah
Wustho yaitu Madrasah Diniyah dalam menyelenggarakan pendidikan Islam tingkat
menengah pertama sebagai pengembangan pengetahuan diperoleh pada Madrasah
Diniyah Awaliyah, masa belajar selam dua tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam
pelajaran. (3). Diniyah Ulya yaitu Madrasah Diniyah tingkat menengah atas
dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa
belajar dua tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu (Departemen Agama
RI, 2003).
Kata
"Madrasah" dalam bahasa Arab termasuk bentuk kata
keterangan tempat (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "Madrasah" diartikan sebagai tempat
belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran (Kosim, 2007).
Dalam perkembangannya Madrasah Islamiyah berdiri jauh sebelum SD/SMP/SMA/SMK,
atau perguruan tinggi. Sebab madrasah adalah salah satu sarana strategis bagi
kyai/ustadz dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran
Islam (Akhirudin, 2015).
3.2.
Implementasi Kebijakan wajib belajar madrasah diniyah di MA Darut Taqwa
Bicara tentang
Implementasi kebijakan pasti terdapat factor pendukug maupun faktor penghambat
yang menjadi hal umum dalam sebuah Implementasi kebijakan. Begitupun
implementasi kebijakan wajib Madin di MA Darut Taqwa Sengonagung yang pasti terdapat beberapa factor tersebut.
1.
Faktor
Pendukung
a.
Sesuai
dengan PERBUP No. 21 tahun 2016 pasal 4 ayat 2 poin b tentang cakupan
pengembangan ilmu tentang Qur’an, Hadist, Tauhid, Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab
serta Tarikh Islam, maka MA Darut Taqwa sudah sesuai dengan PERBUP tersebut.
Karena mata pelajaran tersebut telah diajarkan bahkan sebelum keluar kebijakan
tentang wajib madin.
b.
Mayoritas
siswa di MA Darut Taqwa adalah berlatar belakang santri. Jadi, untuk mata
pelajaran seperti pada pasal 4 ayat 2 poin b itu sudah sangat menguasai.
c.
Mata
pelajaran yang berbasis agama juga mereka pelajari di pondok pesantren dengan
system yang berbeda, seperti : Taqror, Sorogan, Bandongan, Pasanan, dll.
2.
Faktor
penghambat
a. Mengacu pada PERBUP no. 21 tahun 2016
pasal 10 ayat 3 tentang pembelajaran dan evaluasi, maka Implementasi kebijakan
wajib belajar madin di MA Darut Taqwa tidak berjalan sesuai PERBUP. Karena
dalam PERBUP kegiatan madin dilaksanakan pada pukul 14.00-16.00. sedangkat KBM
di MA Darut Taqwa selesai pukul 13.00.
b. Kultur pesantren Ngalah yang berbeda
dengan desa-desa yang ada diluar pesantren Ngalah.
c. Madrasah Diniyah di Yayasan Darut Taqwa
memiliki lembaga sendiri dengan nama Madarasah Diniyah Darut Taqwa yang
melaksanakan KBM mulai pukul 20.00-21.30.
d. Syahadah Madrasah Diniyah Darut Taqwa
tidak ada kaitan dengan Rapot siswa di MA Darut Taqwa. Ini sedikit bertentangan
dengan pasal 9 ayat 1 poin D.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan temuan-temuan yang telah
dipaparkan diatas MA Darut Taqwa masih belum melaksanakan PERBUP No 21 tahun
2016 tentang kebijakan wajib madin karena terkendala beberapa faktor yang telah
dipaparkan diatas.
4.2.
Rekomendasi
1. Pemerintah Kabupaten Pasuruan dalam
hal ini Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan harus
berkomitmen kuat untuk terus mengawal PERBUP No 21 tahun 2016 agar Kabupaten
Pasuruan dapat kembali menjadi Kabupaten yang mendapat sebutan “Kota Santri”
dengan kesantunan dan kebaikan akhlak yang dimiliki oleh masyarakatnya.
2. Sinkronisasi beberapa lembaga
yang ada Yayasan Darut Taqwa guna suksesi kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah kabupaten Pasuruan
DAFTAR PUSTAKA
UU
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Tata
Organisasi Dinas Pendidikan Bidang Pergurag Yang Membidangi: Mi, Mts, Ma,
Madin, Dan Pondok Pesantren.
Peraturan Bupati
Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Wajib Belajar Pendidikan Madrasah Diniyah Dan
Takhassus Diniyah.
Kadji,Y. (2015). Formulasi dan Implementasi Kebijakan Publik
: Kepemimpinan Dan Perilaku Birokrasi Dalam Fakta Dan Realitas. Gorontalo :
UNG press Gorontalo
Izzah, M.
(2018). Implementasi Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan
Madrasah Diniyah Dalam Memperkuat Karakter Siswa Sd
Di Bangil Pasuruan. Thesis. Universitas Muhammadiyah Malang.
IMPLEMENTASI PERBUP NO. 21 TAHUN 2016 TENTANG WAJIB BELAJAR MADRASAH
DINIYAH
(Studi
pada MA Darut Taqwa Sengonagung, Purwosari, Pasuruan)
NAMA :
Muhammad Khafid Ainul Yaqin
|
201669080018
|
Dosen Pengampu :
Hambali, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar